Pesatnya perkembangan Artificial Intelligence (AI) perlu diimbangi dengan kaidah-kaidah hukum yang jelas dan tegas. Hadirnya sebuah teknologi seyogyanya bertujuan untuk mempermudah segala urusan manusia tak terkecuali dalam proses persidangan. Oleh karena itu, Raul Julito Safarrel Gamawanto, mahasiswa Program Studi (Prodi) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya lewat Tugas Akhir Skripsinya melakukan penelitian dengan judul ‘Kedudukan Teknologi Artificial Intelligence pada Sistem Peradilan Pidana di Indonesia’.
Pada penelitian tersebut, Raul mengungkapkan bahwa AI dapat meningkatkan efisiensi dalam proses persidangan di Indonesia. “AI berpotensi dalam meningkatkan efisiensi dalam proses persidangan terutama pada bidang administrasi membantu panitera, sekretaris dalam hal pengumpulan data-data terkait yang dibutuhkan,” ujarnya
Berbeda dari beberapa negara, Raul menegaskan bahwa penggunaan AI dalam ranah hukum perlu dibatasi. “Di China dan Amerika penggunaan AI sedang dikembangkan menjadi pengganti pengacara. Hal tersebut artinya AI dikembangkan menjadi subjek hukum. Sementara di Indonesia, semestinya penggunaan AI dibatasi sebagai pendamping yang fungsinya adalah membatu. Tugas pengacara, hakim hingga jaksa tak sertamerta dapat digantikan oleh AI sebab berkaitan dengan nilai kemanusiaan,” tegas alumni SMA 17 Agustus 1945 Surabaya itu.
Didampingi oleh Dosen Pembimbing - Wiwik Afifah, S.Pi., S.H., M.H., dalam penelitiannya itu, Raul merujuk pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik bahwa kedudukan AI adalah agen elektronik. “Sebenarnya AI masuk dalam definisi agen elektronik yakni bahwa seluruh kewajiban hukum serta pertanggungjawabannya melekat pada penyedia perangkat AI itu sendiri,” ungkap Raul.
Lebih lanjut, Raul mengatakan bahwa saat ini dalam sistem hukum pidana di Indonesia, AI memiliki kedudukan sebagai objek hukum. “AI tidak memiliki tanggung jawab hukum atas tindakan dari hasil pemakaiannya. Pada Pasal 1 ayat 8 UU ITE menerangkan bahwa AI merupakan teknologi yang diselenggarakan oleh orang, sehingga tanggung jawab pidana ada pada orang yang menggunakan AI” ujar putra dari pasangan Junet Gumawanto dan Maya Febriany tersebut.
Selain itu, Raul berharap negara dapat mengembangkan teknologi AI untuk mewujudkan keadilan. “Beradaptasi dengan perkembangan itu perlu. Dengan munculnya AI seharusnya negara dapat menangkap momentum untuk melakukan inovasi di bidang hukum terutama dalam kaitannya mewujudkan keadilan lewat AI,” ungkapnya. (ms)