Pemerintah Kota Surabaya semakin menggencarkan sosialisasi pada perempuan dan anak mengingat maraknya kasus kekerasan seksual. Pakar Viktimologi Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya - Wiwik Afifah S.Pi., S.H., M.H. menyatakan bahwa hal ini mengindikasikan bahwa perempuan dan anak rentan menjadi korban. Meski demikian, menurutnya sosialisasi tersebut dapat menambah keyakinan korban untuk melapor dan menerima perlindungan hukum.
Wiwik mengatakan bahwa relasi kuasa masih menjadi penyebab terjadinya kekerasan seksual. “Di Surabaya kasusnya banyak terjadi pada anak karena pelaku memandang anak sebagai sosok yang lemah. “Jadi antara pelaku dan korban ada relasi kuasa yang timpang,” jelasnya saat ditemui di Kantor Fakultas Hukum Untag Surabaya pada Selasa, (18/1). Dia pun menyebutkan kekerasan seksual terjadi dimana saja. “Bisa di sekolah, lingkungan sekitar bahkan rumah. Misalnya guru ke siswa. Kalau di keluarga dilakukan oleh kakek atau paman dan korbannya bisa anak tiri,” kata Wiwik.
Dosen Fakultas Hukum Untag Surabaya ini menyayangkan label lemah pada anak. “Biasanya korban kekerasan seksual merasa kotor, takut dan tidak berani melapor. Bahkan ada juga yang gak tahu mau lapor kemana,” terangnya. Hal ini, lanjut Wiwik, dimanfaatkan oleh pelaku untuk kembali melakukan kekerasan. “Diamnya korban menjadi peluang kedua bagi pelaku untuk mengulang. Pelaku kemudian memanfaatkan korban yang lemah,” katanya. Wiwik pun menyayangkan reaksi masyarakat yang seringkali menganggap kekerasan seksual sebagai hal yang wajar. “Wajar (jadi korban) karena keluar malam hari atau ya itu bajunya yang ketat. Tentu menjadikan pelaku di posisi aman,” katanya.
Reaksi masyarakat tersebut, kata Wiwik, menjadikan perlindungan hukum perlu ditegaskan dan diatur secara detail untuk melindungi korban. “Misalnya pemaksaan kontrasepsi belum diatur. Ada kasus remaja perempuan yang dipaksa kontrasepsi oleh pacarnya. Jadi perlindungan hukum harus detail,” ucapnya. Dosen yang menjabat Ketua Prodi S1 Hukum Untag Surabaya ini berharap, negara dapat menyediakan wadah bagi korban. “Tidak hanya pengesahan RUU PKS, negara juga harus hadir melalui pelayanan terpadu serta menyediakan shelter agar anak dan perempuan bisa saling berjejaring,” sarannya.
Lebih lanjut, Wiwik menegaskan, korban tidak perlu takut melapor. “Sebaiknya menenangkan diri dan mengakses layanan hukum ataupun LSM yang disediakan masyarakat. Di Surabaya misalnya ada Savy Amira, LBH Surabaya, Koalisi Perempuan Indonesia dan lainnya,” kata Wiwik. “Jangan takut melapor karena ada ketentuan unus testis nullus testis yang bisa melindungi korban. Artinya walau tidak ada saksi, maka korban itu sendiri yang jadi buktinya,” imbuhnya. Tak hanya dari sisi korban, menurut Wiwik, kasus kekerasan seksual pun perlu disoroti dari sisi pelaku. “Siapa tahu dorongan seksual pelaku ini merupakan dampak dari psikologisnya, jangan sampai terjadi,” lanjutnya.
Menanggapi hal tersebut, Wiwik menyebutkan bahwa Untag Surabaya sebagai Kampus Nasionalis membuka layanan hukum dan psikologi termasuk bagi kasus kekerasan seksual. “Kami memiliki Unit Konsultasi dan Bantuan Hukum yang bisa melayani proses litigasi maupun non litigasi. Untuk kekerasan seksual, ini masuk ke proses litigasi,” paparnya. “Ketika menjadi korban, pasti terdampak juga secara psikis. Kami punya Pusat Layanan Psikologi yang bisa membantu korban. Melalui UKBH maupun PLP, Untag Surabaya siap mendampingi korban kekerasan seksual,” tutup Wiwik.