Istilah toxic parenting sudah bukan menjadi hal yang baru lagi. Pola pengasuhan anak yang salah akan berakibat buruk terhadap mental juga psikis anak. Tanpa disadari dalih ‘sebagai orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya’ dapat membuat anak merasa stres, terkekang, hilang kepercayaan diri dan mempengaruhi komunikasi interpersonalnya. Hal tersebut dibahas oleh Gugus Penjaminan Mutu (GPM) Fakultas Psikologi Untag Surabaya - Suhadianto, S.Psi, M.Psi, Psikolog. saat menjadi narasumber di RRI Surabaya dalam Lintas Surabaya Siang bertema “Toxic Parenting dan Tingkat Stress Mahasiswa atau Pelajar” pada Kamis (27/1) dengan dipandu oleh host - Aska Ariska.
Suhadianto memaparkan konsultasi mengenai parenting menjadi hal yang penting untuk dilakukan orang tua, mengingat menjadi orang tua itu harus terus belajar agar tidak tercipta pola asuh yang salah. “Ciri toxic parenting adalah kurangnya rasa empati, terlalu mengontrol atau membatasi tanpa memberikan penjelasan, selalu menuntut tapi tidak paham kebutuhan anak, lebih banyak marah daripada memberikan apresiasi dan tidak berusaha memberikan informasi atau solusi kepada anak,” terangnya.
Menurut Anto, panggilan akrab Suhadianto, pola asuh seperti ini akan membuat anak menjadi stres, takut, sensitif, ragu mengambil keputusan karena serba diatur hingga menimbulkan sikap destruktif. Artinya ketika stress semakin meningkat, anak itu tidak bisa menangani dan akhirnya berperilaku merugikan orang lain dan dirinya sendiri. “Penerimaan makna setiap anak berbeda, ada yang mendapat perlakuan toxic namun akhirnya berdamai, ada pula yang berontak bahkan depresi. Mereka tidak bisa menjalani kehidupan dengan bahagia akibat standar orang lain,” jabarnya.
Sering kali kita mendengar ego orang tua bahwa yang dilakukan untuk anak adalah yang terbaik dan benar, menyamakan jaman sekarang dengan dulu, sampai menggunakan kalimat ‘surga dibawah telapak kaki ibu’ agar anak tidak melawan. “Secara psikologis maupun agama kita diharuskan menyampaikan sesuatu kepada anak dengan cara yang baik. Ketika kita mengingatkan anak dengan cara toxic maka yang dilihat bukan pesan yang disampaikan melainkan kekerasannya, akhirnya dalam perkembangannya mereka akan meniru perilaku orang tuanya,” ujarnya. Suhadianto menerangkan bahwa orang tua sebaiknya menjadi role model bagi anak, karena semua hal yang dilakukan akan diamati dan ditiru oleh anak.
Secara tidak sadar orang tua juga sering membandingkan, karena melihat bahwa yang dilakukan anak harus sesuai dengan yang di idealkan dan itu termasuk pemaksaan, “terkadang orang tua hanya melihat sisi negatif saja. Pola asuh ini biasanya turun-temurun karena adanya pengalaman yang sama di jaman dulu.”
Ia memberikan solusi dalam konteks perguruan tinggi ada Pusat Layanan Psikologi (PLP) yang dimana ketika mahasiswa terkendala secara akademik maupun non akademik bisa datang kesitu. Di PLP didukung oleh beberapa psikolog yang bisa membantu mahasiswa dengan segala macam problematika.
Sebagai penutup, suhadianto berpesan sebagai orang tua harus bisa menghargai sifat dan bakat anak, memahami keunikan serta kebutuhannya, memberikan dukungan yang diperlukan baik secara emosional, informasi, instrumental, dan penghargaan prestasi dan hindari pola pengasuhan yang menggunakan kekerasan verbal, fisik, dan memaksakan kehendak, dengan ciptakan generasi yang membanggakan dengan merubah pola asuh kita. (oy/rz)