logo-untag-surabaya

Developed By Direktorat Sistem Informasi YPTA 1945 Surabaya

logo-untag-surabaya
logo-untag-surabaya

Detail Berita

Pakar Hukum Untag Surabaya Beri Pendapat Terkait Kewenangan Atribusi MPR

Tiga Pakar Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya menjadi pemantik dalam Focus Group Discussion (FGD) pada Kamis (17/11). Kegiatan yang diselenggarakan oleh Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) di Kota Surabaya ini membahas tentang Pelantikan Presiden dan/atau Wakil Presiden; serta Sidang Tahunan MPR-RI.

Ketiga pakar tersebut adalah Dr. Syofyan Hadi S.H., M.H., Dr. Tomy Michael, S.H., M.H., AEPP., CMC., dan Dr. Ahmad Sholikhin Ruslie S.H., M.H.. Tidak hanya Untag Surabaya, dalam kesempatan tersebut Pakar Hukum Universitas Surabaya juga berkesempatan menjadi pemantik dalam kegiatan yang diinisiasi oleh Ketua Badan Pengkajian MPR RI - Drs. Djarot Saiful Hidayat, M.S.

Sebagai pakar yang aktif mengkaji seputar Hukum Tata Negara dan Hukum Pemerintahan, Dr. Syofyan menilai adanya kontradiktif antara UUD Tahun 1945 Pasal 3 dan Pasal 9 secara gramatika berkaitan dengan kata ‘melantik’ dalam Pasal 3. Menurutnya, kata ‘melantik’ ini merupakan kata kerja aktif tetapi Pasal 9 menyebutkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden bersumpah di hadapan MPR, sehingga MPR tidak pernah melantik namun hanya sebatas mengadakan sidang pelantikan. Selain itu, perlu adanya produk hukum yang dikeluarkan oleh MPR berupa Tap MPR mengenai penetapan Presiden dan Wakil Presiden. “Mengacu pada Prinsip Contrarius Actus, Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 7B UUD 1945 yang memberikan kewenangan atribusi kepada MPR untuk memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya dimana dalam UU MD3 ditentukan bahwa pemberhentian itu ditetapkan dengan TAP MPR, tetapi tidak pernah ada TAP MPR yang berisi penetapan Presiden dan Wakil Presiden,” ungkap Dr. Syofyan.

Hal senada juga disampaikan oleh Dr. Tomy, menurutnya jika dilihat dari TOR terdapat pergeseran makna dalam prosesi pembacaan sumpah yang seolah-olah sah menjadi presiden ketika sumpah dibacakan tanpa ada kelanjutannya lagi. “Seseorang ditetapkan sebagai Presiden karena adanya kontrak sosial kepada masyarakat. Mengacu pada pendapat Hans-Georg Gadamer dalam bukunya Truth and Method, sumpah dan janji tidak boleh diucapkan di depan publik karena sifatnya privat sekali karena ketika mengucapkan sumpah bukan kepada suatu lembaga tetapi kepada apa yang dipercayainya,” papar Dosen Fakultas Hukum ini.

Lebih lanjut Dr. Achmad memberikan pandangan akademik yang tidak jauh berbeda, bahwa hasil reformasi menghasilkan perubahan yang fundamental. “Dengan diubahnya MPR dari lembaga tertinggi menjadi lembaga tinggi tentu banyak dari tugas dan kewenangan yang dipangkas pula, hal ini menjadikan banyak aturan yang tidak sinkron. Oleh karena itu konsistensi ini begitu penting agar antara aturan yang satu dengan lainnya menjadi sinkron,” pungkasnya.

Diskusi ini berhasil memantik berbagai fakta menarik yang nantinya menjadi masukan bagi MPR RI. Rektor Untag Surabaya - Prof. Dr. Mulyanto Nugroho, M.M., CMA., CPA turut hadir bersama Ketua YPTA Surabaya - J. Subekti,S.H., M.M dan mengapresiasi sinergi yang dibangun antara MPR RI dan Untag Surabaya. “Menjelang Pemilihan Presiden tahun 2024 mendatang tentu isu-isu politik akan secara massive bermunculan, untuk itu perlu adanya tindakan preventif yang dilakukan secara komprehensif dan bersinergi dengan seluruh elemen masyarakat khususnya sektor pendidikan,” tandasnya. (am/rz)



PDF WORD PPT TXT