Mahasiswa Sarjana Hukum, Fakultas Hukum, Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya menggelar dialog publik dengan tema ‘Penanganan dan Pemulihan Korban Kekerasan Seksual’. Kegiatan dibuka oleh Dekan Fakultas Hukum - Dr. Slamet Suhartono, S.H., M.H. ini diikuti oleh 70 peserta yang terdiri dari peserta mahasiswa Untag Surabaya lintas prodi dan lintas angkatan. Kegiatan berlangsung secara luring di Gedung Prof. Dr. H. Roeslan Abdulgani lantai dua, Jumat (2/12).
Dekan Fakultas Hukum memberikan apresiasi kepada panitia atas terselenggaranya kegiatan ini. “Dunia kampus dunia pendidikan. Seharusnya netral, tidak dikotori dengan perbuatan asusila. Ketika menyikapi kekerasan di dalam kampus, seyogyanya harus ada tindakan,” tegas Dr. Slamet.
Kegiatan dialog publik ini dipandu oleh Mahasiswa Sarjana Hukum – Nur Khofifah Siregar dengan turut mengundang dua praktisi yang berpengalaman dalam menangani kasus kekerasan seksual, di antaranya Irmashanti Danadharta, S. Hub.Int., MA selaku ketua Satgas PPKS Untag Surabaya dan Ana Abdillah, S.H.I selaku Direktur Eksekutif Women’s Crisis Center Jombang.
Irmashanti sebagai pemateri kesatu memaparkan materi ‘Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi’. Irma mengatakan kemunculan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 bertujuan untuk menciptakan suasana di lingkungan pendidikan seperti perguruan tinggi yang aman dan nyaman bagi semua warga kampus, baik itu mahasiswa, lembaga pendidikan, ataupun dosen.
Irma menganalogikan kekerasan seksual seperti fenomena gunung es. “Jadi kekerasan seksual bukan baru-baru ini ada. Tapi sesungguhnya dari dulu sudah ada namun tidak muncul di permukaan. Kelihatannya di atas permukaan kecil, sebenarnya es di dalamnya itu besar” tutur Irma menjelaskan analoginya.
Irma mengatakan konsep consent atau persetujuan dalam Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 masih disalahartikan. “Satu yang seringkali orang miskonsepsi adalah ketika kita ngomong ‘iya’ di awal berarti ‘iya-nya’ itu bersifat permanen, padahal TIDAK. Yang namanya persetujuan itu bisa berubah” terangnya.
Ia juga menjelaskan adanya pengenaan sanksi administratif yang akan dikenakan kepada pelaku kekerasan seksual, yaitu sanksi ringan berupa surat teguran dan surat permohonan maaf, sanksi sedang berupa skorsing dan penangguhan jabatan organisasi atau beasiswa, dan sanksi berat berupa pemberhentian tetap (Drop Out).
Ana Abdillah sebagai pemateri kedua memaparkan materi ‘Refleksi Penanganan Kasus Kekerasan Seksual dan Aspek Hukumnya’. Ana mengatakan sesungguhnya tidak ada ruang yang benar-benar aman bagi perempuan dari kekerasan seksual. “Kita selalu dihadapkan pada suatu paradigma atas nama baik institusi. Menormalisasi perilaku untuk tidak membuat korban itu merasa nyaman ketika speak up” tuturnya.
Ana ajak peserta senantiasa ‘ada’ untuk korban kekerasan seksual. “Mari gerak bersama menjadi bagian support system, dimanapun kita berada, apapun studi keilmuan kita, itu bisa menjadi satu kekuatan kalau misalnya kita bisa mengasah sensitivitas permasalahan permasalahan yang ada di sekitar kita. Nah Itu merupakan wujud pengabdian mahasiswa” tutur ana mengajak peserta dialog publik. (nh/rz)