Edukasi Literasi dan Kepercayaan Pemerintah Kepada Masyarakat Jadi Kunci

Lebih dari satu tahun, pandemi Covid-19 di Indonesia belum berakhir. Hingga saat ini, jumlah kasus harian penambahan pasien SARS-COV-2 ini masih dinamis. Berbagai kebijakan telah diambil pemerintah dalam mengatasi pandemi global ini. Kebijakan terbaru yakni adanya larangan mudik pada momen lebaran lalu. Namun, disaat yang sama, pemerintah mengijinkan masyarakat untuk berwisata. Hal ini disayangkan oleh Pakar Kebijakan Pemerintah dari Untag Surabaya, Prof. Dr. V. Rudy Handoko, MS. “Pemerintah sejak awal tidak terlalu siap membuat kebijakan dalam suasana darurat. Saat dihadapkan dengan keadaan tidak normal, maka seringkali kebijakan itu tergagap-gagap,” kata Rudy. Ia mencontohkan, saat pertama kali kasus pasien Covid-19 di Indonesia terdeteksi sejak Maret 2020 lalu, pemerintah menyebutkan penggunaan masker hanya untuk mereka yang sakit. Ternyata, masker justru merupakan salah satu yang wajib digunakan untuk mencegah penularan.

Prof. Rudy memandang pemerintah selalu kebingungan ketika dihadapkan kepada pilihan mendahulukan ekonomi atau kesehatan. Padahal, menurutnya, kebijakan yang dibuat bisa saja integratif. “Kenyataannya pemerintah tidak cukup membuat kebijakan yang good policy sehingga dua-duanya menjadi sesuatu yang saling kontradiktif,” paparnya. Lebih lanjut ia menjelaskan, baik sektor ekonomi, kesehatan serta sektor lain bisa disinkronkan dan diintegrasikan menjadi smart policy apabila pemerintah memiliki fokus.

Selain itu, mencontoh kebijakan larangan mudik, Prof. Rudy menyebut komunikasi publik yang dilakukan pemerintah cukup jelek. Hal ini membuat publik semakin bingung, bahkan menimbulkan ketidakpercayaan publik. “Kalau memang fokusnya Covid, kenapa wisata malah dibuka. Sebaliknya, kalau fokusnya ekonomi, kenapa mudik dilarang padahal dengan adanya mudik terjadi pertukaran ekonomi dari kota ke desa. Itu yang saya maksud dengan komunikasi publik yang jelek,” jelas Prof. Rudy. Hal yang sama juga terjadi pada pemahaman vaksin. “Ketika ada vaksin yang meragukan, pemerintah tidak cepat dalam merespon supaya masyarakat punya kepastian,” imbuhnya.

Ia pun menekankan edukasi literasi utamanya terkait protokol kesehatan secara jelas menjadi salah satu cara pemerintah mengatasi pandemi. Asumsinya, dengan adanya edukasi literasi, baik di tempat wisata, kerja hingga dimanapun, publik akan selalu mengingat agar selalu berhati-hati dan menerapkan prokes secara ketat. Selain itu, kepercayaan pemerintah terhadap publik juga penting dalam mengatasi pandemi di Indonesia. “Publik punya kearifan tersendiri dalam menyikapi permasalahan hidup. Misal, kalau literasi kuat, perlakukan masyarakat desa ke kota juga akan sama. Terlebih masyarakat punya nilai guyup. Orang lebih takut apabila desa menolak dia (re: pemudik). Hal-hal semacam itu yang tidak dimanfaatkan oleh pemerintah. Rasionalitas yang ada di pemerintah, tidak membaca rasionalitas yang ada di masyarakat,” paparnya. Namun, lanjut Rudy, tak dapat dipungkiri berbagai kebijakan pemerintah sudah cukup baik, “sekali lagi seringkali tidak bisa secara komprehensif dan ingetratif sehingga bisa menjadi good policy. Moga-moga kedepan pejabat banyak belajar bagaimana mengambil sikap menghadapi kondisi tidak normal seperti ini.”



WORD